“Pilihan orang tua adalah yang terbaik.” Kalimat yang mungkin saat ini terdengar usang dan kuno. Namun, bagaimana jika kalimat tersebut benar adanya? Melewati 12 tahun masa studi di sekolah memang tidaklah mudah, tapi perjalanan hidup yang sesungguhnya dari seorang remaja bernama Bayu Pamungkas baru akan dimulai.
Bayu tengah berada di persimpangan jalan dengan tanda tanya besar di kepalanya setelah ia selesai dengan seragam putih abu-abunya. Di tengah kebimbangan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, Bayu mendapat bisikan dari orang tuanya bahwa SBMPTN dapat menjadi jalan yang baik untuk ditempuh. Remaja yang masih kehilangan arah itu akhirnya mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Jalan itu menuju ke arah pintu salah satu universitas terbaik yang ada di Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Siapa sangka? Jalur tersebut dilalui dengan mulusnya oleh Bayu hingga ia dapat melanjutkan studinya di IPB sebagai mahasiswa Ilmu Kelautan yang fokus pada aspek lingkungan.
Tidak pernah ada dalam benak Bayu bahwa dirinya akan menempuh studi di bidang kelautan ataupun lingkungan. Pandangan Bayu terhadap masa depannya terpaku pada pola pikir konservatif yang bercita-cita untuk menjadi PNS ataupun karyawan BUMN. Bahkan, setelah Bayu telah menjadi bagian dari mahasiswa Ilmu Kelautan, belum ada rasa cinta yang tumbuh terhadap lingkungan, yang ada hanyalah rasa apatis dan keacuhan dalam hatinya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, rasanya Bayu semakin tenggelam dalam studinya. Sifat apatis berubah menjadi peduli, acuh menjadi prihatin, dan rasa cinta yang belum tumbuh kini sudah bertunas. Mata Bayu semakin terbuka, bahwa lingkungan tidak hanya sebatas alam yang terbentang luas di seluruh dunia, tetapi lebih daripada itu. Lingkungan terkait erat dengan berbagai aspek dalam kehidupan manusia, seperti kesehatan, sosial, budaya, bahkan politik. Semakin dalam dan dalam Bayu menyelam, pengetahuan yang terus bertumbuh beriringan dengan rasa prihatin yang juga semakin besar. Tidak terasa Bayu telah sampai pada penghujung studi S1nya. Bayu yang sudah terlanjur menyelam belum merasa puas dengan lautan yang telah ia selami. Kali ini, Bayu mengambil langkahnya sendiri untuk melanjutkan studi menuju gelarnya yang kedua. Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, itulah nama program studi yang Bayu ambil untuk studi lanjutannya.
Ilmu Kelautan, yang semula merupakan jalan yang ditunjukkan oleh orang tuanya, seolah menjadi panggilan hidup Bayu. Sejak menjalani studi S1nya, Bayu sangat tertarik dengan isu terkait pencemaran lingkungan dan dalam studi S2nya, ia terus mendalami hal tersebut. Lagi-lagi perjalanan yang ditempuh oleh Bayu seolah merupakan rencana yang telah ditulis dengan sempurna oleh Tuhan. Salah satu dosen di universitas tempat Bayu menempuh S2nya datang menghampiri Bayu dan menawarkan suatu project penelitian tentang tanaman mangrove. Bayu telah mempelajari tentang mangrove dari ujung akar hingga ke ujung rantingnya semasa S1, tetapi tidak ada ketertarikan yang muncul terhadap mangrove ini, bahkan sampai ia menjalani S2nya. Namun, karena ketertarikannya terhadap pencemaran lingkungan dan keinginannya untuk membuat tesis terkait sampah laut yang belum dapat terealisasikan dalam studi S1nya, ia mengambil kesempatan penelitian terkait mangrove tersebut yang dikaitkan dengan pencemaran lingkungan.
Perjalanan penelitian pun dimulai, jurnal demi jurnal ia baca untuk mengumpulkan sebanyak- banyaknya informasi yang dibutuhkan. Namun, apalah arti informasi dan fakta-fakta yang dibaca, apabila Bayu tidak turun dan melihat langsung kondisi di lapangan. Bayu mendatangi salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi bernama Muara Gembong sebagai objek penelitiannya. Dalam pandangan mata yang menyisir seluruh area di
Muara Gembong, Bayu melihat seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Bayu pun melangkahkan kakinya mendekati sang ibu dan terlihat ruam-ruam merah di sekujur leher dan tangan buah hatinya. “Bu, ini kenapa anaknya?” tanya Bayu heran. “Gapapa kok, disini normal kayak gitu,” jawab sang ibu tanpa keraguan. Beribu-ribu pertanyaan seketika muncul di pikiran Bayu setelah mendengar jawaban sang ibu yang menurutnya tidaklah normal untuk menormalisasi keadaan tersebut, apalagi yang menyangkut kesehatan. Di tengah kebingungan Bayu, sang ibu kembali berbicara “Itu juga si kakaknya dulu juga kayak gitu,” ucap sang ibu sambil menunjuk anaknya. Bayu pun memalingkan pandangan ke arah anak yang ditunjuk sang ibu. Terlihat seorang anak laki-laki tanpa busana yang sedang bermain di tepi sungai dekat perahu, bersamaan dengan sampah yang menumpuk di genangan air tersebut.
Melihat hal itu, hati Bayu seperti terpukul. “Bagaimana bisa ada hal seperti ini terjadi di tempat yang hanya berjarak 2 jam dari Jakarta?” “Bagaimana bisa kondisi seperti ini dinormalisasi?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam diri Bayu setelah menyaksikan kondisi keluarga sang ibu. Peristiwa yang ia saksikan seolah menjadi titik awal untuk menjalankan misi besar terkait dengan mangrove dan pencemaran lingkungan. Kondisi memprihatinkan yang Bayu saksikan dilaporkan ke dalam penelitian yang ia kerjakan.
Usai mengolah beragam data dan informasi yang telah ia kumpulkan, berakhirlah penelitian terkait dengan mangrove yang tengah ia kerjakan. Namun, keprihatinan yang telah tumbuh selama penelitian tersebut tak kunjung berakhir, justru sebaliknya, keprihatinan tersebut semakin besar setelah semakin dalam menggali informasi terkait dengan pencemaran dan mangrove.
Mencari wadah untuk menyalurkan rasa prihatin dan kesedihan yang meluap-luap dalam hatinya, Bayu pun memutuskan untuk mencari komunitas mangrove di Jakarta. Bertemulah ia dengan satu komunitas bernama Mangrove Jakarta. Sejak saat itu, Bayu terus fokus dalam bidang rehabilitasi mangrove dan menjadi pahlawan mangrove sampai saat ini. Bayu menyebut perjalanan dirinya hingga sampai kepada bidang lingkungan adalah sebuah ketidaksengajaan yang menerangkan. “Agak kecelakaan masuk ke dunia lingkungan, tapi sangat membuka mata, batin, pikiran, dan jiwa,” ucap Bayu sambil tersenyum lega.
Ditulis oleh : Gavendra Anantawikrama Wijaya
The Twists and Turns of an Environmental Hero’s Journey
“Parents know best.” A phrase that may sound outdated and antiquated. However, what if that phrase holds truth? Passing through 12 years of studying isn’t easy, but the real journey of a teenager named Bayu Pamungkas is about to begin.
Bayu stands at a crossroads with a big question mark hanging over his head after he finishes his ashy white uniform. Amidst the uncertainty of continuing his studies at university, Bayu hears whispers from his parents that SBMPTN (national university test) could be a good path to take. The teenager, still lost, eventually follows the path indicated by his parents. That path leads him to the door of one of the best universities in Indonesia, the Bogor Agricultural Institute (IPB). Who would have thought? Bayu smoothly navigates this path until he can continue his studies at IPB as a Marine Science student focusing on environmental aspects.
It never crossed Bayu’s mind that he would pursue studies in marine or environmental fields. Bayu’s view of his future was fixed on a conservative mindset aspiring to become a civil servant or a state-owned enterprise employee. Even after Bayu became a part of the Marine Science students, there was no growing love for the environment; only apathy and indifference in his heart.
Days turned into months, months into years, and Bayu feels himself sinking deeper into his studies. Apathy turns into concern, indifference into empathy, and the love that hadn’t yet blossomed begins to sprout. Bayu’s eyes open wider, realizing that the environment is not just the vast expanse of nature worldwide but much more. The environment is closely related to various aspects of human life, such as health, social, cultural, and even political. As Bayu dives deeper and deeper, growing knowledge is accompanied by an increasing sense of concern. Before he knows it, Bayu has reached the end of his undergraduate studies. Bayu, who has already immersed himself, doesn’t feel satisfied with the ocean he has delved into. This time, Bayu takes his own step to continue his studies towards his second degree. Coastal and Marine Resource Management, that’s the name of the program Bayu chooses for his further studies.
Marine Science and Technology, initially a path indicated by his parents, seems to become Bayu’s calling in life. Since undergoing his undergraduate studies, Bayu has been deeply interested in issues related to environmental pollution, and in his master’s studies, he continues to delve into it. Once again, Bayu’s journey seems like a plan perfectly written by God. One of the professors at the university where Bayu pursues his master’s degree approaches him and offers a research project on mangrove plants. Bayu had studied mangroves from root to branch during his undergraduate studies, but no interest emerged in mangroves, even as he pursued his master’s degree. However, due to his interest in environmental pollution and his desire to create a thesis related to marine litter that couldn’t be realized during his undergraduate studies, he seizes the opportunity to research mangroves related to environmental pollution.
The research journey begins, journal after journal he reads to gather as much needed information as possible. However, what’s the use of information and facts if Bayu doesn’t go down and see the conditions firsthand? Bayu visits one of the districts in Bekasi Regency called Muara Gembong as his research object. In his eyes scanning the entire area of Muara Gembong, Bayu sees a mother carrying her baby. Bayu walks towards the mother and notices red rashes all over the baby’s neck and arms. “Ma’am, what’s wrong with your child?” Bayu asks puzzled. “It’s okay, it’s normal here,” the mother answers without hesitation. Thousands of questions instantly flood Bayu’s mind upon hearing the mother’s answer, which he finds abnormal to normalize such conditions, especially those related to health. In the midst of Bayu’s confusion, the mother speaks again, “My eldest was like that too,” she says, pointing to her child. Bayu turns his gaze towards the child pointed out by the mother. He sees a naked boy playing by the riverside near a boat, along with garbage piled up in the stagnant water.
Seeing this, Bayu’s heart sinks. “How can something like this happen just 2 hours away from Jakarta?” “How can such conditions be normalized?” These questions arise within Bayu after witnessing the family’s condition. The distressing event he witnessed becomes the starting point for his mission regarding mangroves and environmental pollution. The alarming condition Bayu witnessed is reported in the research he is conducting.
After processing various data and information he has gathered, the research on mangroves he’s been working on comes to an end. However, the concern that has grown during the research doesn’t end; on the contrary, it grows even bigger as he delves deeper into information related to pollution and mangroves.
Seeking a channel to channel the overflowing concern and sadness in his heart, Bayu decides to look for mangrove communities in Jakarta. He meets a community called Mangrove Jakarta. Since then, Bayu has been focused on mangrove rehabilitation and remains a mangrove hero to this day. Bayu describes his journey to the environmental field as an unintended enlightenment. “It’s kind of an accident entering the environmental world, but it really opens up my eyes, mind, and soul,” says Bayu with a relieved smile.
Written by: Gavendra Anantawikrama Wijaya